Kolom Penulis
Tidak lebih menguras tenaga dibanding proses memanen padi. Menjemur padi sering aku lakukan dulu, saat masih sekolah terhitung membantu meringankan orangtua. Ketika merantau, waktu mudik jarang sekali bertepatan dengan masa panen di sawah bapa. Dengan kegiatan ini siap-siap ikut kulit gosong dan badan gatal-gatal karena bersentuhan langsung dengan gabah. Ditambah sedikit emosi jika sesekali sekawanan ayam dan temannya mematuki gabah. Biasanya kerikil sudah melayang diantara gerombolan ayam itu. Atau sekedar mengusir cantik. Hus hus sannah dengan pelepah daun salak yang sudah dibersihkan. Begitu pula pengaruh cuaca, tetiba meredup disusul rinai gerimis tiba, ya ini sudah membuat muka pucat. Lebih-lebih tetiba hujan menderas yang hanya sebentar, ah ini seperti mengajak bercanda.
Gabah adalah bulir padi. Biasanya mengacu pada bulir padi yang telah dipisahkan dari tangkainya (jerami). Asal kata “gabah” dari bahasa Jawa gabah. dalam perdagangan komoditas, gabah merupakan tahap yang penting dalam pengolahan padi sebelum dikonsumsi karena perdagangan padi dalam partai besar dilakukan dalam bentuk gabah. Terdapat definisi teknis perdagangan untuk gabah, yaitu hasil tanaman padi yang telah dipisahkan dari tangkainya dengan cara perontokan. Secara anatomi biologi, gabah merupakan buah padi, sekaligus biji. Buah padi bertipe. sehingga pembedaan bagian buah dan biji sukar dilakukan.
Menggelar alas yang lebar di tengah lapang mengharap terik matahari kemudian mengurai bulir-bulir gabah diatasnya tipis bertujuan cepat kering, itulah proses menjemur gabah. Dalam bahasa Jawa biasa menyebutnya mepe gabah atau kadang melafalnya dengan meme gabah. Untuk menghasilkan gabah kering maksimal, petani biasanya menyisir rata gabah dengan tangan atau dengan alat yang disebut garu, semacam sisir yang bergerigi dan bertangkai yang terbuat dari kayu.
Masih ingat sekali bagaimana suka duka menjemur padi. Dahulu, menjemur padi menggunakan anyaman bambu yang berbentuk persegi panjang, istilah kami ‘geribik’. Ada saja penjual keliling yang menjajakan geribik, saat itu. Sekarang mana ada, bahkan rumah yang berdinding anyaman bambu pun sudah hampir tidak ada, kecuali ada kepentingan tertentu seperti rumah makan atau saung. Begitu pula fungsi geribik sebagai plafon sudah tergantikan oleh bahan kayu yang kekinian. Menggunakan geribik memang kurang efektif dan efisien. Dari bentuknya memakan banyak tempat kalau tidak digulung. Digulung pun harus berhati-hati dan tidak kuat menekan, sebab semakin sering kena matahari semakin gampang patah dan rapuh, semakin banyak tekanan makin cepat lepas kaitan anyaman. Jika terkena hujan akan memberat dan harus dikeringkan dulu.
Lain dulu lain pula sekarang. Menggelar karung beras yang dijahit melebar atau sudah membeli jadi berupa terpal. Dalam keseharian kami menyebut karung yang dijadikan alas menjemur yaitu ilesan. Ilesan ini hampir semua berwarna putih, sedang untuk terpal lebih banyak varian warnanya. Menggunakan karung ini lebih awet dan efisien ketimbang geribik. Selesai digunakan bisa disimpan dengan dilipat dan mudah untuk dibersihkan. Untuk terpal sendiri bahanya lebih tebal dan tidak tembus air. Karung merupakan bagian dari pabrik karung plastik. Karung beras yang terbuat dari biji plastik dan serat yang berkualitas. Selain alas di atas, biasanya petani menjemur langsung di atas lantai yang kering dan bersih. Ini biasanya dilakukan di dekat tempat penggilingan padi.
Antara geribik, karung atau pun terpal jauh hal yang berbeda dari asal pembuatannya. Geribik sendiri dari irisan tipis bambu yang dianyam, asli dari sumber daya alam. Jika rusak, begitu mudah dimakan rayap atau terurai ditanah dengan cepat dan mudah. Kadang buat ibu-ibu yang masih menggunakan pawon (tungku dengan sumber api dari kayu bakar) untuk merangsang nyala api, istilah jawanya urup-urup. Sedang karung dan terpal jika sudah rusak, selanjutnya bernasib seperti plastik pada umumnya. Menjadi sampah yang lama dan susah terurai dengan tanah.
Kesulitan lain yang dialami sekarang adalah berkurangnya lahan sawah juga berkurangnya lahan lapang untuk menjemur gabah. Bangunan rumah dan kios banyak didirikan. Dimana di lahan lapang tersebut sebenarnya tidak hanya berfungsi sampai disitu, melainkan tempat bermain anak. Tempat berkumpul para bocah untuk keluar dari rumah, belajar bersosialisasi dan berolahraga. Makanya sekarang jalan beralih fungsi sebagai tempat jemuran. Dan tanah lapang tidak lagi tempat seru bermain seperti dulu. Ada permainan gobak sodor, kasti, sigar jambe, sunda manda dll. Kids jaman now lebih memilih merunduk bersama gadget pemberian orangtua mereka.
Af’idatun Nasikhah : Kegelisahan Dibalik Menjemur Gabah
Tidak lebih menguras tenaga dibanding proses memanen padi. Menjemur padi sering aku lakukan dulu, saat masih sekolah terhitung membantu meringankan orangtua. Ketika merantau, waktu mudik jarang sekali bertepatan dengan masa panen di sawah bapa. Dengan kegiatan ini siap-siap ikut kulit gosong dan badan gatal-gatal karena bersentuhan langsung dengan gabah. Ditambah sedikit emosi jika sesekali sekawanan ayam dan temannya mematuki gabah. Biasanya kerikil sudah melayang diantara gerombolan ayam itu. Atau sekedar mengusir cantik. Hus hus sannah dengan pelepah daun salak yang sudah dibersihkan. Begitu pula pengaruh cuaca, tetiba meredup disusul rinai gerimis tiba, ya ini sudah membuat muka pucat. Lebih-lebih tetiba hujan menderas yang hanya sebentar, ah ini seperti mengajak bercanda.
Gabah adalah bulir padi. Biasanya mengacu pada bulir padi yang telah dipisahkan dari tangkainya (jerami). Asal kata “gabah” dari bahasa Jawa gabah. dalam perdagangan komoditas, gabah merupakan tahap yang penting dalam pengolahan padi sebelum dikonsumsi karena perdagangan padi dalam partai besar dilakukan dalam bentuk gabah. Terdapat definisi teknis perdagangan untuk gabah, yaitu hasil tanaman padi yang telah dipisahkan dari tangkainya dengan cara perontokan. Secara anatomi biologi, gabah merupakan buah padi, sekaligus biji. Buah padi bertipe. sehingga pembedaan bagian buah dan biji sukar dilakukan.
Menggelar alas yang lebar di tengah lapang mengharap terik matahari kemudian mengurai bulir-bulir gabah diatasnya tipis bertujuan cepat kering, itulah proses menjemur gabah. Dalam bahasa Jawa biasa menyebutnya mepe gabah atau kadang melafalnya dengan meme gabah. Untuk menghasilkan gabah kering maksimal, petani biasanya menyisir rata gabah dengan tangan atau dengan alat yang disebut garu, semacam sisir yang bergerigi dan bertangkai yang terbuat dari kayu.
Masih ingat sekali bagaimana suka duka menjemur padi. Dahulu, menjemur padi menggunakan anyaman bambu yang berbentuk persegi panjang, istilah kami ‘geribik’. Ada saja penjual keliling yang menjajakan geribik, saat itu. Sekarang mana ada, bahkan rumah yang berdinding anyaman bambu pun sudah hampir tidak ada, kecuali ada kepentingan tertentu seperti rumah makan atau saung. Begitu pula fungsi geribik sebagai plafon sudah tergantikan oleh bahan kayu yang kekinian. Menggunakan geribik memang kurang efektif dan efisien. Dari bentuknya memakan banyak tempat kalau tidak digulung. Digulung pun harus berhati-hati dan tidak kuat menekan, sebab semakin sering kena matahari semakin gampang patah dan rapuh, semakin banyak tekanan makin cepat lepas kaitan anyaman. Jika terkena hujan akan memberat dan harus dikeringkan dulu.
Lain dulu lain pula sekarang. Menggelar karung beras yang dijahit melebar atau sudah membeli jadi berupa terpal. Dalam keseharian kami menyebut karung yang dijadikan alas menjemur yaitu ilesan. Ilesan ini hampir semua berwarna putih, sedang untuk terpal lebih banyak varian warnanya. Menggunakan karung ini lebih awet dan efisien ketimbang geribik. Selesai digunakan bisa disimpan dengan dilipat dan mudah untuk dibersihkan. Untuk terpal sendiri bahanya lebih tebal dan tidak tembus air. Karung merupakan bagian dari pabrik karung plastik. Karung beras yang terbuat dari biji plastik dan serat yang berkualitas. Selain alas di atas, biasanya petani menjemur langsung di atas lantai yang kering dan bersih. Ini biasanya dilakukan di dekat tempat penggilingan padi.
Antara geribik, karung atau pun terpal jauh hal yang berbeda dari asal pembuatannya. Geribik sendiri dari irisan tipis bambu yang dianyam, asli dari sumber daya alam. Jika rusak, begitu mudah dimakan rayap atau terurai ditanah dengan cepat dan mudah. Kadang buat ibu-ibu yang masih menggunakan pawon (tungku dengan sumber api dari kayu bakar) untuk merangsang nyala api, istilah jawanya urup-urup. Sedang karung dan terpal jika sudah rusak, selanjutnya bernasib seperti plastik pada umumnya. Menjadi sampah yang lama dan susah terurai dengan tanah.
Kesulitan lain yang dialami sekarang adalah berkurangnya lahan sawah juga berkurangnya lahan lapang untuk menjemur gabah. Bangunan rumah dan kios banyak didirikan. Dimana di lahan lapang tersebut sebenarnya tidak hanya berfungsi sampai disitu, melainkan tempat bermain anak. Tempat berkumpul para bocah untuk keluar dari rumah, belajar bersosialisasi dan berolahraga. Makanya sekarang jalan beralih fungsi sebagai tempat jemuran. Dan tanah lapang tidak lagi tempat seru bermain seperti dulu. Ada permainan gobak sodor, kasti, sigar jambe, sunda manda dll. Kids jaman now lebih memilih merunduk bersama gadget pemberian orangtua mereka.
Penulis: Af’idatun Nasikhah, ibu satu anak
Ig @afidatunnasiha
Twitter @afidatunnasikhah
Fb @Af’idatunnasihah
Web www.afidatunnasiha@blogspot.co.id
Wa 085891546711
Via
Kolom Penulis
Posting Komentar