Kolom Penulis
Opini
COVID-19 vs Pedagang Kecil
Sebelum ada kelesuan ekonomi akibat pandemi covid 19 pun sebenarnya perolehan kami sudah tidak menentu. Kadang jika hari sedang baik dagangan kami bisa ludes terjual. Namun jika sedang apes, cuaca terlalu panas sehingga orang malas untuk keluar, atau hujan deras, dagangan kami ibarat pajangan toko yang berdebu.
Itulah nasib pedagang kecil.
Lalu datang covid 19, lockdown, social distancing dan pandemi. Entah istilah apalagi, kami yang cuma pedagang kecil sebenarnya tidak mengerti. Yang kami pahami, anak sekolah sudah tidak berangkat lagi. Orang di perantauan mengeluh tidak ada pekerjaan lagi. Ketika mereka pulang mereka didatangi, didata dan bahkan sempat ada yang disemprot disinfektan, lagi dan lagi. Kami para pedagang cuma paham jalanan menjadi sepi, tidak ada pembeli.
Tidak, kami tidak sedang berkeluh kesah. Berkeluh kesah pun sebenarnya tidak akan merubah nasib kami. Jika keluhan kami ada yang mendengar dan terlebih lagi memberikan solusi, maka kami tiap saat akan berkeluh kesah. Setiap dagangan kami tidak laku kami akan berkeluh kesah. Tapi tidak, tidak ada yang mendengar kami. Tidak ada solusi. Kami hanya menulis agar pembaca mengetahui. Agar orang lain bersyukur, bahwa ada orang-orang yang hidup dengan kondisi seperti kami. Menunggu rejeki, menunggu pembeli.
Kami juga sebenarnya masih bersyukur. Masih diberi kesempatan untuk mencari nafkah agar rejeki kami masih mengucur. Meskipun beberapa kali gerobak kami kena guyur. Terkena semprotan disinfektan beberapa hari sekali secara teratur. Para sukarelawan dari beberapa badan serta aparatur. Mereka bilang agar virus hancur lebur. Beberapa kawan kami beruntung mendapat bantuan, tapi entah siapa yang mengatur. Siapa yang dapat bantuan dan siapa yang cuma melantur.
Pasrah, kami cuma bisa pasrah. Entah, entah apalagi yang akan terjadi entah. Pemerintah kami cuma bisa mengandalkan pemerintah. Tapi entah apa yang sedang dilakukan pemerintah. Karena entah kami bagai di negeri antah berantah. Karena jujur kami cuma bisa pasrah.
Terlihat juga di ibu kota sudah mulai pekerja berguguran karena mendapatkan surat PHK sepihak ditengah pandemi COVID-19. Alih-alih untuk mencegah penyebaran virus Corona, dengan mem-PHK karyawan tentu membuat orang tersebut tidak mempunyai penghasilan dan tentu akan meningkatkan kerawanan dalam penyebaran virus Corona.
Mungkin pemerintah sudah mempunyai jalan ninjanya sendiri dalam mengurus pandemi global ini, mungkin saja ini hanya kemungkinan. Andaikan diawal pandemi ini pemerintah lebih aware akan bahanya virus Corona ini dan langsung melakukan pencegahan mungkin dampaknya tidak akan semasif ini. Mari kita doakan bangsa Indonesia agar mampu melawan COVID-19.
Itulah nasib pedagang kecil.
Pedagang yang ketika ludes terjual pun hanya memperolah omzet tak lebih dari 200 ribu perhari. Omzet yang harus kami bagi lagi untuk membeli bahan baku agar kami bisa berjualan lagi esok hari. Tak ayal paling kami hanya membawa pulang uang 100 ribu. Itu jika dagangan kami habis loh. Hal yang jarang terjadi. Dalam satu minggu berjualan paling hanya sekali.
Lalu datang covid 19, lockdown, social distancing dan pandemi. Entah istilah apalagi, kami yang cuma pedagang kecil sebenarnya tidak mengerti. Yang kami pahami, anak sekolah sudah tidak berangkat lagi. Orang di perantauan mengeluh tidak ada pekerjaan lagi. Ketika mereka pulang mereka didatangi, didata dan bahkan sempat ada yang disemprot disinfektan, lagi dan lagi. Kami para pedagang cuma paham jalanan menjadi sepi, tidak ada pembeli.
Tidak, kami tidak sedang berkeluh kesah. Berkeluh kesah pun sebenarnya tidak akan merubah nasib kami. Jika keluhan kami ada yang mendengar dan terlebih lagi memberikan solusi, maka kami tiap saat akan berkeluh kesah. Setiap dagangan kami tidak laku kami akan berkeluh kesah. Tapi tidak, tidak ada yang mendengar kami. Tidak ada solusi. Kami hanya menulis agar pembaca mengetahui. Agar orang lain bersyukur, bahwa ada orang-orang yang hidup dengan kondisi seperti kami. Menunggu rejeki, menunggu pembeli.
Kami juga sebenarnya masih bersyukur. Masih diberi kesempatan untuk mencari nafkah agar rejeki kami masih mengucur. Meskipun beberapa kali gerobak kami kena guyur. Terkena semprotan disinfektan beberapa hari sekali secara teratur. Para sukarelawan dari beberapa badan serta aparatur. Mereka bilang agar virus hancur lebur. Beberapa kawan kami beruntung mendapat bantuan, tapi entah siapa yang mengatur. Siapa yang dapat bantuan dan siapa yang cuma melantur.
Pasrah, kami cuma bisa pasrah. Entah, entah apalagi yang akan terjadi entah. Pemerintah kami cuma bisa mengandalkan pemerintah. Tapi entah apa yang sedang dilakukan pemerintah. Karena entah kami bagai di negeri antah berantah. Karena jujur kami cuma bisa pasrah.
Terlihat juga di ibu kota sudah mulai pekerja berguguran karena mendapatkan surat PHK sepihak ditengah pandemi COVID-19. Alih-alih untuk mencegah penyebaran virus Corona, dengan mem-PHK karyawan tentu membuat orang tersebut tidak mempunyai penghasilan dan tentu akan meningkatkan kerawanan dalam penyebaran virus Corona.
Mungkin pemerintah sudah mempunyai jalan ninjanya sendiri dalam mengurus pandemi global ini, mungkin saja ini hanya kemungkinan. Andaikan diawal pandemi ini pemerintah lebih aware akan bahanya virus Corona ini dan langsung melakukan pencegahan mungkin dampaknya tidak akan semasif ini. Mari kita doakan bangsa Indonesia agar mampu melawan COVID-19.
Via
Kolom Penulis
Posting Komentar